Jumat, 22 Juli 2011

SIMBAH MENONTON TIVI

Puisi Hardho Sayoko


Meski didominasi pertemuan petani dan pengrajin dengan almarhum eyang
nyaris tak pernah muncul berita kejahatan dan berbagai klaim keberhasilan
terkadang simbah rindu suasana aman dan damai dalam setiap jam tayang
walau sebenarnya geli pada sosok pejabat paling lucu sejak republik ini lahir
karena tidak pernah malu memohon petunjuk sebelum khabarkan harga cabai
tak pernah ada artis film tawarkan cemilan bukan untuk konsumsi orang miskin
setelah lelah bermain sinetron penuh tipu daya dan pamer kemewahan gaya Eropa
melihat iklan apartemen mewah mirip istana dalam dongeng seribu satu malam
meski lahannya bekas makam atau situ setelah pemukiman kumuh habis tergusur
belum ada sejarahnya bendahara partai pemenang pemilu melarikan diri karena uang

DUA PUISI HARDHO

GARIS SIMPANG

Termangu aku di sini. Matahari sebentar lagi terbenam
belum tiba di ujung langkahku kenapa dadaku bimbang
tanah pemberangkatan bukan keping masa lalu. Juga bukan
serpih kerinduan.

Gerbang di kejauhan di balik noktah. Belum terpetakan
langit menyimpan hari. Bumi bongkahkan berjuta keresahan
tergugu bagai kurcaci. Bayang-bayang menertawakan.

  --Restoran OASE, Menteng, 1984--

CATATAN CLAIRINE MUTIARA NUSANTARI

Puisi Hardho Sayoko


Menatap bayang menunggang gigir janin matahari
saat purnama sangsai di reranting pohon jati telanjang
jangan bertanya lintas kabut merunduk di bukit kejauhan
bisik embun memagut pelepah dan permukaan daun pisang
murai dan ayam beroga tak pernah salah mengeja salam

PUISI-PUISI LAMA HARDHO

BELUM KERING

Rasanya baru kemarin kita bertemu di sini
dan bicara harapan - harapan yang masih tersisa
rasanya juga belum kering tinta di kertas merah jambu
merekam kerinduanmu yang selalu menghanguskan pedihnya luka
siang ini tiba-tiba kutertunduk menatap bayang-bayang
setelah burung gagak terdengar berkaok-kaok di bubungan beranda
Jakarta, 1995

EMPAT PUISI HARDHO

SILHUET

Bagai kuda hitam bersurai putih
sepanjang hari tak pernah alpa
menghela pedati penuh beban sarat
demi kehidupan tuannya

mengalir hari-hari bersama waktu mimpi dan angan menguap di angkasa
punggung rapuh kian terbungkuk didera resah sepanjang kembaraannya

Ingin pergi, rumput dan ilalang telah lama menyeturuinya
bertahan terus dipadang batu, Keajaiban sekali pun tak pernah mengulurkan
tangannya lewat nyala dian lepas senja

Jakarta, 1983

SAJAK IBUNDA

Puisi Hardho Sayoko


Meski tercipta dari tulang rusuk si pemetik buah khuldi
jantungnya alirkan kudusnya cinta serta madu kasih sayang
pemintal segala lintas musim lewat perjalanan awan di cakrawala
penjinak gelombang badai berbadai penghalau segala bala bencana
tak pernah istirah sebelum maut menyumbat gerak katup nadinya
selain bayang menyerta tamsil juga seorang nabi pernah bersabda
; di telapak kaki tersedia surga bagi permata kalbu sejak rahimnya

ODE PEREMPUAN IBUNDA

Puisi Hardho Sayoko


Mustahil kehidupan di bumi terus bergulir meniru bola salju
jika tak jejak sosok bayang berkendara cinta dari arasNya
kelam malam abadi tanpa terpagut hangatnya jemari cahaya siang
bulan dan mentari di palung langit hanya noktah dalam genggaman
angin musim semi enggan menghunus butir embun dari daun di pelepah palma
sebelum penggerak bayang pernah berkisah keperkasaan seorang balu  
memenangkan lima anaknya setiap tarian mengalunkan gema sangkakala
menghadapi perangkap musuh tak terbilang dalam medan tak seimbang
lewat likatnya ujar-ujar bagai tiupan angin musim gugur menyeteru cuaca