Jumat, 22 Juli 2011

PUISI-PUISI LAMA HARDHO

BELUM KERING

Rasanya baru kemarin kita bertemu di sini
dan bicara harapan - harapan yang masih tersisa
rasanya juga belum kering tinta di kertas merah jambu
merekam kerinduanmu yang selalu menghanguskan pedihnya luka
siang ini tiba-tiba kutertunduk menatap bayang-bayang
setelah burung gagak terdengar berkaok-kaok di bubungan beranda
Jakarta, 1995


SUDAH WAKTUNYA

Sekarang tiba waktunya kita berfikir tentang esok
setelah pulas menatap pelangi yang terbentang di hadapan mata
mumpung langit masih biru dan matahari belum menjemput senja
hidup tidak hanya menghanyutkan kesegaran tubuh dan hitungan usia
tapi kesediaan untuk memanggul harapan yang dahulu belum ada
seperti kotak teka-teki silang di kolom suratkabar dan majalah
seseorang harus mengisi jika kepingin meraih hadiahnya
Jakarta, 1995

MEMANG

Catatan kecil untuk adikku Wahyu Gunahadi

Setelah tersungkur dan menggelepar di sana beberapa lama
para kerabat yang dahulu akrab kini tidak tahu lagi alamatnya
siapa sebenarnya yang bertahun-tahun mandah jadi pecundang
kalau bukankarena  tangisan anak-anak yang kehilangan mainannya
lalu mencampak butir-butir impian yang pernah dijadikan tasbih
usai mengucapkan selamat tinggal pada gerbang kota kelahirannya
Jakarta, 1995

SEPATU SANG EKSEKUTIF

Bertahun-tahun aku mengabdi pada tuanku yang telengas dan angkuh
yang tanpa perasaan iba menginjakku dengan pongahnya setiap saat
setelah jongosnya membersihkan debu-debu jalanan dari kulitku
bekas perjalanan ke berbagai kunjungan yang telah dijadwalkan
sebelum mengecatku dengan semir yang ditawarkan berbagai iklan
dan berdecak kagum karena dia tahu hargaku sama dengan gajinya
selama enam bulan tanpa dua persen dipotong pajak pendapatan
tuanku tak pernah mengerti betapa beratnya beban yang kupikul
setiap dia berjalan dengan tengadah tak peduli kuharus menjilat
berbagai kotoran dan melindungi kakinya dari kerikil yang tajam
maka dia mencampakku ke tong sampah setelah warnaku mulai kusam
dan memilih yang baru tanpa perasaan sedih dan kasihan
Jakarta, 1995

MANGGARAI

Entah berapa kali harus tersungkur
setiap mencoba bangkit dari berbagai kekalahan
mengapa semuanya tak pernah menyahut
ketika berteriak meminta pertolongan

KEDUNGGALAR

Jika pulang lagi ke mari
kecuali lagu ratap apakah masih tersisa
yang dahulu sendiri merenda hari
telah menyusul yang telah lama tiada

SURAT KEPADA ANAK-ANAKKU

Telah kutulisi hati kalian
dengan darah dan airmata
bacalah dengan mata batinmu setiap waktu
jika nanti kalian telah temukan kedewasaan
biar kalian memahami arti kehidupan di bumi ini
sebelum merenungi batas umur yang disebut kematian           
Jakarta, 1995

Puisi-puisi yang pernah  dimuat di Suara Pembaruan yang berusaha di tuliskan kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar