SILHUET
Bagai kuda hitam bersurai putih
sepanjang hari tak pernah alpa
menghela pedati penuh beban sarat
demi kehidupan tuannya
mengalir hari-hari bersama waktu mimpi dan angan menguap di angkasa
punggung rapuh kian terbungkuk didera resah sepanjang kembaraannya
Ingin pergi, rumput dan ilalang telah lama menyeturuinya
bertahan terus dipadang batu, Keajaiban sekali pun tak pernah mengulurkan
tangannya lewat nyala dian lepas senja
Jakarta, 1983
SAJAK KEPADA PRAASTI YANG GERAIKAN PELANGI DI JANTUNGKU
Praasti
Aku pelaut tegar yang kemarin lempar sauh di pelabuhanmu
ketika senja turun di kaki langit dan gelombang berbadai
tawarkan tualang baru
Telah berulang kali pinisiku yang kukuh jelajahi laut asing tanpa nama
telah berulang kali aku ngembara di benua kelu dengan tangan genggam pataka
daki bukit-bukit terjal dan berpacu di padang-padang tandus memanja luka
Aku telah putuskan istirah dan kusutkan temali layar di sini
dan ucapkan selamat tinggal pada langkah-langkah terayun percuma
aku tak rindu pada lumut-lumut berkilau di permukaan batu tepian segara
aku ingin memahat tebing hatimu dengan kudusnya cinta dan merdunya bait puisi
aku telah letakkan busur dan bertekad bersamamu meniti manisnya lintasan hari
Jakarta 1984
JEMBATAN LINTAS L
Pilar-pilar baja di dalam balutan beton perkasa
di teror debu-debu dari vagina bumi yang luka
saksi peradaban bisu di negeri warisan para dewa
Jakarta, September 1983
HUTAN KARET
Pohon-pohon tegak di kaki bukit
berbaris seperti donor sukarela
hidup hanya sekali di bumi namun sepanjang umur
rela ditoreh tubuhnya setelah si penanam yang cerdik
taburkan sejumput pupuk saat masa pertumbuhannya
September 1983
Di muat di majalah Gadis no 8 yang terbit 19 Maret 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar