Puisi Hardho Sayoko
Sejuta duka seribu bencana tak pernah reda memilin hati ibunda
mengapa harus tersungkur mereguk derita yang bukan kesalahannya
hingga bubungan rumah tergenang amuk sungai dan rob menggila
hingga sawah ladang jelang panen terkubur longsoran bukit usai gempa
bila pelanduk yang kehilangan urat malu karena jadi penyebab murka Nya
mengapa tak kau jewer telinganya yang tersumbat dari keluh dan hujat
yang telah menjadi serenada sebelum bulan dimangsa Rahu tiap gerhana
biar tidak terus memperdaya lewat kibas ekor berhias seribu warna
Telah jemu menunggu keajaiban turun dari langit kecuali isak ibunda
badai demi badai sedemikian akrab dengan nafasnya yang makin tersengal
luka demi luka tak pernah bertaut meski tak ada lagi darah di setiap porinya
musim menjadi seteru dan tak pasti bertamu meski diramal sudah waktunya
kemana duka harus terbagi kecuali tadahkan tangan ketimbang berserapah
hanya menambah kegetiran anak-anakmu yang terpedaya kebebalannya
dan menawari jadi kerabat Ifrit karena merasa tercampak dan sia-sia
Sejuta duka seribu bencana seakan tak pernah lelah menguras airmata ibunda
anakmu merana karena raungnya yang membubung menembus lapisan langit
selalu rontok jadi zarah dan benih virus di bumi sebelum sampai arasy Nya
mengapa yang menggelepar harus berteka-teki menyalin seribu tanda tanya;
Kapan ibunda yang menjelma nenek renta ini dapat bersolek dan terlihat jelita
setelah rambut terbabat beserta tonggaknya perut dikuras hingga tak ada isinya
tentu bukan hanya para penganyam yang bersorak andai tumbalnya si pemabuk
yang tak malu mengaku pemilik bimasakti setelah gagal mengecat bianglala
seperti yang dahulu pernah dijanjikan sebelum berhasil menunggang mega
namun selalu sembunyi jika ada yang paparkan ilusi kosong dari mulutnya
Kedunggalar, Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar