Puisi Hardho Sayoko
Kabut kemarau mesra mencumbu lembah dan bukit- bukit batas dusun
berayun di pelupuk mata bila angin kotamu bisikkan sunyi paling nestapa
adalah permukaan riak danau di mana pinggirannya sebagian tebing terjal
meniru serdadu menghunus ribuan tajamnya sangkur lewat deretan cemara
langit memeta rindu lewat setelempap awan jingga sering sangsai mengaca
saat pejalan melepas lelah di antara ranggas semak membuka gulungan tenda
sebelum mendekap dada kelunya hingga ambang sepertiga putaran kelam
Jika takdirmu sebagai penakluk kegarangan lintas matahari
usah lagi menebar noktah cemburu di sela gemulai tarian embun
meniup sejuknya kerling bila lengkung langit malam memeta rembulan
biar lelawa dalam berbagai perburuan merekamnya dalam bait sajak
sebagai penanda saat istirah di ujung galau puncak sisa kembaraan
Kerlip sepasang kejora di wajahmu lambang penghalau gelisah
rekahkan berlaksa indahnya kuntum harap mengiring wangi nafasmu
duhai pemilik jejak agungnya cinta ratu dari segala mercu ilusi
jika lembar mimpi kekasih tak pernah alpa memeta senyum manismu
maka jangan pernah henti taburkan biji-biji rindu lewat jemari
bukankah fajar tak pernah jemu merindu hangatnya matahari
meski usai gerimis kaki langit tak mesti terhias cahaya pelangi
Kedunggalar, 3 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar