Puisi Hardho Sayoko
Belum sepertiga negeri terketuk gerbangnya
memeta jejak perjalanan anak burung garuda
memilih menganyam serat mimpi seberang cakrawala
meninggalkan sawah di kaki bukit dan ladang belakang rumah
melupakan kesiur angin dan tarian rumpun bambu di tebing kali
mengubur kenangan cinta pertama usai terbius sepotong nama
mencampak harumnya syurga dari kehangatan para kerabat tercinta
tergasi bayang panggung opera dalam gedung menggelitik mega
lewat sajak merangkai kabut di antara pilar-pilar baja
menggapai awan berarak di celah cakrawala
Setiap rembulan berlayar kelu di cakrawala
selalu hadirkan ringkik kuda di jalanan pedesaan
sebelum keletihan merekatkan pelupuk mata
matahari menyulut kepedihan bingkai dada
hanguskan indahnya angan di daun jendela
mimpi terselip di antara sayap-sayap kejora
lupa jalan pulang termangu di persimpangan
Meski telah teralun desah kelu teramat purba
mewarnai catatan perjalanan penyihir sewaktu belia
menganyam angan di sudut-sudut tanah kembara
deret pepohonan di hutan jati berpagar padang ilalang
meski pucuk nyiur telah meranggas dimangsa hama
tak lelah lepaskan rindu dan desah sejak tergadai cita-cita
seperti lelumut saat kemarau di bebatuan kali tanah leluhur
; wahai gadisku jika letih kembangkan sepasang sayap
jangan menunggang gigir angin tak rindu memasung jiwa
biarkan bayang meratapi sepi di tengah hingarnya kota
ingat jangan kembali sebelum taklukkan pusaran prahara
Jakarta - Metro Lampung – Kedunggalar,
26 Juni 2008 – 31 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar