Puisi Hardho Sayoko
Entah selain airmata buaya apa lagi yang hendak mereka pilin
untuk membius setelah deret angka-angka dari belakang meja
melalui kedip bintang di langit banyak yang mulai meragukannya
setelah bertahun-tahun terperangkap pedihnya isyarat yang samadi
antara kusutnya sisa anyaman ilusi kosong yang telah poranda
hingga yang peduli malah sering dianggap bukan siapa-siapa
Di simpang lima jika ada yang berseru sambil mengepal tinju ke udara
banyak yang tertawa atau membisu tanpa menyambut pekik juangnya
Padahal matahari tetap setia memegang janji sejak mulai tercipta
tak peduli musim sering ingkar tapi ia senantiasa melintasi garisnya
tapi bangsa yang aneh ini tidak pernah mempercayai penglihatannya
bukankah saat dulu bersekutu tak ada yang mampu menahan derapnya
mengapa justru memilih elegi walau banyak tembang pengugah jiwa
membiarkan yang mencoba tegak sendiri menerjang amuk prahara
Di jalanan jika ada yang gemetar menghormat selembar belacu di cakrawala
yang melihat justru terkekeh setelah gagal menahan puncak keheranannya
Entah apa yang hendak mereka eja hari ini dengan indahnya retorika
di antara kusutnya abjad yang berserak penuh keluh memancing iba
setiap tersudut bayang menyerta gema setelah ketakutan diseteru bianglala
yang dahulu pernah dijadikan anak tangga ketika mulai menyusun kerangka
tapi banyak yang tidak mampu menterjemahkan makna senyum liciknya
hingga akal mudah tergasi karena tiupan intrik yang tak putus direncana
Kedunggalar, 24 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar