Puisi Hardho Sayoko
Kemarin basah bertimbun resah
daun-daun dan putik buah mangga
berserak tak ada yang menjamah
di antara serak genting-genting pecah
setelah puting beliung dengan pongah
menegur Kedunggalar yang semakin gelisah
bukan hanya karena hutan-hutannya
yang berpuluh tahun digerogoti
bukan juga sebab sungainya yang tinggal pasir
dibiarkan tertimbun lumpur kering dan debu
yang tanduskan sawah dan ladang
warisan leluhur yang telah jadi arwah
mungkin pedih karena anak-anaknya tak ada yang merasa jengah
melihat tanah kelahiran telah lama kehilangan kembang gelagah
Istriku, adakah badai lebih dahsyat pernah kau temu
masa bocah hingga remajamu sebelum mengikuti suara hati
memilih seorang pejalan yang menumpahkan berahinya
di rahimmu jadi gadis-gadis secantik bidadari
yang menjadi ilham puisi sekaligus perekat cinta kita
hingga kau masih tetap tersenyum setiap menatapku
yang nyaris tergugu usai datang limbubu
dan cuma menganyam kegalauan demi kegalauan
pada sajak-sajak cengeng lewat kedip cursor yang lesu
usai menangkap anak bayang-bayang di balik kelambu
melupakan lepas malam esok janjikan lagi matahari
Kedunggalar, 23 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar