Puisi Hardho Sayoko
Bait-bait sajak parau terlontar memukuli tebing cadas di kejauhan
cuatkan masa lalu tak pernah larat meski terkubur tebalnya debu sejarah
siapa percaya di antara batu-batu sungai yang lumutnya lama mengering
rumpun hilalang terhampar bersama tumbuh di pedataran gersang
yang cuma tinggal menghitung sisa langkah setelah semua kehilangan gapai
yang cuma gelendong kosong bertahun-tahun dibiarkan memintal resah
Entah siapa nanti bakal memahat prasasti di sini sambil lempar testamen
setelah parade berakhir dan sipeniup terompet gantungkan rompi di barak
kecuali warisan tentang kesiur angin dan bekas hijau daun tak ada lagi
dan berlaksa andai karena tak pernah tergenggam gemetar kepalan tangan
serta serapah konyol setelah tersungkur menghadirkan gemerlapnya angan
Suara anak kambing mengembik nyaring memukuli tebing di kejauhan
cuatkan masa kecil yang larat terkubur tebalnya debu kehidupan di sini
siapa percaya berlaksa kenangan tak pernah hanyut terbawa arus sungai
dan tetap tumbuh bersama rumpun hilalang yang terhampar di pedataran
tak pernah pernah lahirkan penyajak kecuali pendebat gila duduk di kursi
kerabat para peraup mimpi kendati anak cucu menggelepar tanpa harga diri
Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar